"We learn what music is by how it is treated." – Lydia Goehr
Lydia Goehr memandang seni sebagai institusi sosial. Pelajari pemikiran estetika Goehr tentang musik, norma sosial, dan ontologi karya seni dalam artikel ini.
Daftar Isi
- Pendahuluan
- 1. Seni sebagai Institusi Sosial: Kerangka Goehr
- 2. Kritik terhadap Ontologi Karya Tetap
- 3. Norma Sosial dan Produksi Makna dalam Musik
- 4. Relevansi Pemikiran Goehr dalam Seni Kontemporer
- Penutup
Pendahuluan
Seni, dalam sejarah pemikirannya, telah lama diposisikan sebagai ekspresi individu, estetika bentuk, dan pengalaman emosi. Namun, filsuf kontemporer seperti Lydia Goehr mengusulkan pendekatan baru yang lebih kontekstual dan institusional terhadap seni, khususnya dalam bidang musik. Melalui karya monumentalnya The Imaginary Museum of Musical Works (1992), Goehr menawarkan analisis filosofis mengenai bagaimana pemahaman kita terhadap karya seni telah dibentuk oleh norma-norma institusional sejak era Klasik.
Goehr tidak hanya menantang pemahaman tradisional tentang seni, tetapi juga membuka ruang bagi diskusi lintas disiplin mengenai bagaimana konteks historis dan sosial membentuk identitas artistik. Ia mempertanyakan ontologi karya seni—apa yang membuat sebuah karya dianggap sebagai ‘karya’—dan menempatkan institusi sebagai aktor utama dalam produksi dan pelestarian makna estetis.
1. Seni sebagai Institusi Sosial: Kerangka Goehr
Lydia Goehr mendekati seni dengan perspektif institusional, di mana ia berpendapat bahwa apa yang dianggap sebagai ‘seni’ atau ‘karya’ tidak bersifat alami, melainkan merupakan konstruksi sosial. Dalam pandangannya, seni tidak bisa dilepaskan dari institusi seperti konser, museum, dan pasar seni. Institusi ini menetapkan batas dan norma dalam menilai karya seni.
Melalui studi musik klasik Barat, Goehr menunjukkan bahwa ide tentang sebuah "karya musik" sebagai entitas tetap dan otentik muncul pada akhir abad ke-18. Sebelum itu, musik bersifat fleksibel dan interpretatif, namun institusi musik kemudian menegaskan pentingnya otentisitas.
Institusi menjadi penjaga makna seni—menentukan bagaimana seni dipahami, diajarkan, dan ditampilkan. Hal ini memperlihatkan bahwa nilai estetika bukan sekadar rasa pribadi, tapi dibentuk oleh norma institusional.
"The very idea of a musical work only became dominant under certain institutional conditions." – Lydia Goehr
2. Kritik terhadap Ontologi Karya Tetap
Salah satu kontribusi besar Goehr dalam filsafat seni adalah kritiknya terhadap konsep karya tetap (fixed-work ontology). Menurutnya, pemahaman bahwa karya seni adalah entitas tetap adalah ilusi yang dibentuk oleh sejarah dan kebiasaan institusional, bukan oleh sifat internal seni itu sendiri.
Dalam konteks musik, konsep ini menyiratkan bahwa sebuah simfoni harus selalu diwujudkan sesuai dengan niat asli komposer. Namun, Goehr menunjukkan bahwa interpretasi musik justru dulunya lebih bebas dan improvisatif.
Ia menolak gagasan bahwa karya seni memiliki bentuk ideal yang harus direkonstruksi dengan sempurna dalam setiap penampilan. Sebaliknya, ia mengusulkan pendekatan yang mengakui keberagaman kontekstual sebagai bagian dari estetika itu sendiri.
Ontologi karya seni menurut Goehr adalah produk institusi, bukan substansi esensial. Ini membuka pintu bagi interpretasi yang lebih terbuka dan manusiawi terhadap seni.
3. Norma Sosial dan Produksi Makna dalam Musik
Goehr juga membahas bagaimana norma sosial membentuk pemahaman kita terhadap seni. Apa yang dianggap sebagai "karya besar" sering kali merupakan hasil dari nilai dominan dalam masyarakat—baik dari segi gender, kelas, maupun ras.
Dalam konser musik klasik, misalnya, norma kesunyian dan sikap formal bukan hanya bagian dari estetika, tetapi juga alat kontrol sosial terhadap audiens dan performer.
Institusi seni memiliki kecenderungan untuk mempertahankan dominasi kelompok tertentu. Sejarah menunjukkan bahwa banyak perempuan dan minoritas tidak mendapatkan ruang dalam narasi seni karena terhambat oleh norma institusional.
"Social norms frame the way we think about artistic value and legitimacy." – Lydia Goehr
4. Relevansi Pemikiran Goehr dalam Seni Kontemporer
Pemikiran Lydia Goehr semakin relevan dalam dunia seni kontemporer. Di era digital, definisi karya seni dan keasliannya semakin kabur. Remix, AI-generated art, dan NFT menantang batas tradisional seni.
Dalam konteks ini, kerangka Goehr membantu kita memahami bahwa seni selalu berubah sesuai institusi baru yang muncul—baik itu media sosial, YouTube, atau pasar NFT.
Pemikiran Goehr juga berdampak besar pada praktik kuratorial. Ia mengingatkan bahwa setiap pemilihan karya adalah keputusan politik, bukan sekadar artistik.
Dengan memandang seni sebagai bagian dari sistem sosial, kita dapat memahami bahwa perubahan artistik adalah bagian dari perubahan budaya yang lebih luas.
Penutup
Lydia Goehr menunjukkan bahwa seni bukanlah entitas netral yang berdiri sendiri. Ia adalah hasil interaksi kompleks antara ide, institusi, dan norma sosial. Seni harus dilihat dalam konteks sejarah dan kekuasaan yang membentuknya.
Bagaimana menurut Anda? Apakah seni bisa bebas dari norma dan institusi? Apakah seni digital juga akan membentuk institusi baru di masa depan? Yuk, tulis pendapatmu di kolom komentar dan bagikan artikel ini jika menurutmu bermanfaat!

0 Komentar